Gede Ngurah “Pak Oles” Wididana

GEDE Ngurah Wididana lebih dikenal dengan nama Pak Oles. Ini gara-gara ia menemukan racikan minyak penyembuh serba guna hasil perpaduan teknologi effective microorganism, yang ia pelajari di Jepang, dengan teknik pengobatan tradisional Bali. Secara setengah bergurau ia menyebut penemuannya sebagai minyak oles karena memang salah satu cara penggunaannya dioles-oleskan.

SEBUTAN Pak Oles kemudian tidak sebatas menjadi semacam “ideologi” perlawanan terhadap kemapanan, tetapi memasuki ruang-ruang serius seperti penamaan perusahaan atau produksi. Perusahaan inti yang memayungi perusahaan-perusahaan berikut diberi nama PT Karya Pak Oles Tokcer. Nama ini, misalnya, kemudian berkembang menjadi PT Visi Media Pak Oles, yang kemudian menerbitkan Koran Pak Oles dengan motto mirip-mirip iklan jamu obat kuat “jangan anggap enteng”. Meski memakai terminologi pinggiran, Wididana bukanlah jenis orang serampangan dalam mengurus perusahaan. Buktinya, sejak tahun 1998 silam di seluruh perusahaannya telah bekerja 2.000 karyawan. Mereka tersebar di berbagai wilayah, seperti Jakarta, Lampung, Surabaya, Malang, Magelang, Makassar, Mataram, Sumbawa, Garut, Gresik, Banyuwangi, dan beberapa kota kecil lain.

Berbagai produk obat-obatan alternatif, kini ada 24 jenis, yang ia keluarkan sesungguhnya semuanya dalam kerangka menjawab tudingan bahwa teknologi effective microorganism (EM) yang ditemukan Prof Dr Teruo Higa adalah racun.

“Justru untuk menjawab tudingan miring itu, saya bikin obat dengan EM. Saya gabung dengan usada Bali. Ya hasilnya tradisional-modern,” kata Pak Oles, eh, Wididana, Kamis (26/2) di Denpasar.

Bidang usaha Wididana kemudian berkembang ke arah “tak terduga”. Belakangan ia juga membuka panti pijat dan restoran, yang semuanya menggunakan terminologi nyeleneh. Dengan menempuh jalan ini, sejak ia kembali dari Jepang membawa EM tahun 1990 sampai sekarang, ia tetap menjadi tokoh dengan predikat “miring”.

“Saya selalu dicibirkan, mungkin karena dinilai tak serius. Ini kan hanya soal cara saja. EM itu penemuan yang luar biasa dan serbaguna,” katanya.

Mungkin karena Anda memulai dan memasuki bidang-bidang bisnis yang tak lazim?

Apa salahnya saya memberi nama minyak oles. Ini kan kata yang sebenarnya sangat akrab di telinga kita, seperti juga kata “tokcer” itu.

Tetapi, kesannya jadi main-main. Padahal, Anda menggabung penemuan teknologi dengan peninggalan pengobatan tradisional?

Saya justru sangat serius dalam soal ini. EM ditemukan Prof Teruo Higa tahun 1980 sebagai jawaban atas kekhawatiran penggunaan bahan-bahan kimia di bidang pertanian dan kesehatan secara berlebihan. Saya beruntung bisa berguru langsung kepada beliau.

Anda mungkin memberi kesan asal- asalan dengan memakai nama-nama yang tak serius? (He-he…)

Bahkan, sebelum menemukan minyak oles (bokashi) itu, saya mempelajari usada Bali dengan membaca banyak lontar. Selain itu, saya juga melakukan penelitian di Busungbiu (Buleleng-Red) di mana saya dilahirkan. Akhirnya saya menemukan obat apa yang disebut lengis arak nyuh oleh masyarakat desa. Bahannya hanya minyak kelapa serta beberapa rempah yang kemudian diasapi di atas dapur tradisional.

Cara pengasapan itu sebenarnya proses permentasi secara alami yang bisa memakan waktu tiga bulan. Permentasi akan menghasilkan zat-zat antioksidan yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Permentasi tradisional yang lain dilakukan orang Bali dengan memasukkan celebingkah (pecahan gerabah yang dibakar-Red) ke dalam ramuan. Celebingkah itu sendiri telah mengandung mikroorganisme permentasi.

Adapun teknologi EM adalah proses permentasi buatan terkontrol dengan memanfaatkan mikroorganisme. Keduanya sama-sama fermentasi. Akan tetapi, dengan EM, fermentasi bisa dilakukan hanya dalam dua minggu.

Selama ini teknologi EM dan nama bokhasi itu lebih lekat dengan nama pupuk organik. Sekarang kok tiba-tiba Anda membuatnya jadi obat-obatan, apa tak menjadi kacau?

Pada awalnya saya memang mendirikan perusahaan pembuat pupuk organik (menyebut nama perusahaan-Red) yang diolah dari sampah. Bokhasi sendiri adalah bahasa Jepang yang berarti permentasi sampah dapur. Dan perusahaan pupuk organik itu masih ada sampai sekarang. Saya membangun pengolah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar, untuk membuat pupuk. Semua menggunakan teknologi EM.

(Wididana secara khusus mempelajari teknologi EM dari Prof Teruo Higa ketika ia menempuh S2 di University of the Ryukyus Okinawa, Jepang. Ia kemudian menjadi orang Indonesia pertama yang memperkenalkan teknologi ini ke Tanah Air. Di Indonesia ia mendirikan beberapa yayasan yang secara khusus melatih para petani di pedesaan dalam memanfaatkan EM. Akan tetapi, awal tahun 1990-an segala upayanya mengenalkan teknologi ini seperti dicibirkan. Ia tak memperoleh dukungan sama sekali dari pemerintah. “Karena itu, kemudian saya pikir, saya harus melakukan segala sesuatunya sendirian tanpa dukungan pemerintah.”)

Apa karena itu kemudian Anda memberi nama perusahaan dan merek dagang dengan nama-nama yang marginal itu?

Oh, itu antara lain saja. Pertama, karena saya ingin produk ini cepat dikenal. Awalnya memang hanya dipasarkan dari petani ke petani. Kedua, untuk menyeruak pasar obat-obatan alternatif yang dipenuhi ramuan dari China, saya mesti menciptakan sesuatu yang lain, tetapi berkhasiat dan yang terpenting bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Minyak oles bokhasi itu baru kemudian diuji klinis pada binatang, setelah menyembuhkan manusia… he-he-he.

Anda tak takut produk-produk itu disamakan dengan obat-obatan jalanan?

Oh itu tidak apa-apa. Saya tidak apa- apa. Obat-obatan tradisional tak pernah melewati proses uji klinis. Kita diyakinkan karena faktor keturunan kan? Saya sekarang memiliki lebih dari 350 jenis tanaman obat di kebun milik sendiri. Itu kan hasil dari mempelajari lontar-lontar usada Bali.

(Sejak tahun 1997 Wididana mendirikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknologi EM di Desa Bengkel, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, Bali, sekitar 80 kilometer di utara Denpasar. Di desa kelahirannya itulah kemudian lelaki lulusan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar, ini menanam pohon- pohon obat di atas tanah seluas tujuh hektar. Di desa kecil itu pula kini pabrik obatnya berlokasi).

ANDA mendirikan panti pijat, apa tidak semakin membuat produk-produk obat Anda makin diberi cap miring. Apalagi bokhasi Anda promosikan sebagai obat kuat seksual juga?

Semua usaha saya itu pengembangan untuk membangun sistem. Setelah saya belajar manajemen di American Institute Management Studies Hawaii tahun 1999, saya merumuskan apa yang saya sebut sebagai SIMT (sistem, informasi, manajemen, dan teknologi). Teknologi dan manajemen harus bergabung membentuk industri, industri melahirkan barang dan jasa, yang kalau diputar akan membentuk pasar. Semua pasar harus dikelola dengan informasi. Maka, saya membuat di antaranya panti pijat, restoran organik, dan koran. Semua itu sesungguhnya tetap dalam kerangka mengembangkan teknologi EM tadi, yang terejawantah dalam minyak oles bokhasi.

Bayangkan, dalam sebulan saya harus mengeluarkan Rp 200 juta untuk membuat koran itu, dan sekarang sudah jalan selama tiga tahun. Kalau kita tidak memiliki jaringan distribusi, pastilah koran ini sudah bangkrut. Subsidinya kita ambil dari penjualan minyak oles. Namun, sebagai pengemban informasi, koran ini harus mampu menunjang penjualan minyak oles itu. Korannya gratis. Kita cetak sebanyak 150.000 eksemplar dan diedarkan ke seluruh jaringan distribusi produk obat.

(Pak Oles menerapkan sistem yang ia sebut take and give dengan berbagai pemasok botol obat, kemasan, komputer, serta berbagai produk lain. Ia minta mereka memasang iklan di korannya. Distribusi kemudian mengikuti jaringan pemasaran obat-obatan yang ia bangun secara mandiri).

Panti pijat itu juga hal serius. Saya ingin memberi bukti bahwa perpaduan teknologi EM dengan usada Bali menghasilkan ramuan yang berkhasiat. Memang mungkin karena banyak pijat-pijat yang tidak “lurus”, lalu semua panti pijat diberi kesan ngeres. Kalau saya menyebut bokhasi memiliki kemampuan meningkatkan vitalitas seks, itu memang benar. Di dalamnya terdapat 135 jenis tanaman obat yang dipermentasi dengan EM. Tidak saja ketika pengolahan, tetapi juga saat menanam tumbuh-tumbuhan obat itu.

Apa sih sesungguhnya EM itu, Anda begitu ngotot mengembangkan ini? Apa karena Anda pernah mendapat bea siswa dari Jepang itu?

Ini tak ada hubungannya dengan bea siswa. EM adalah teknologi effective microorganism dari kultur cair. Pertama-tama memang ditemukan untuk melakukan permentasi sampah menjadi pupuk organik. Jadi, intinya organik untuk mengembangkan pertanian organik, sebagai jawaban atas ekses-ekses penggunaan bahan kimia. Lalu, memang kemudian menjadi bahan obat-obatan pertanian untuk meminimalkan penggunaan pestisida.

Ini kan teknologi yang sangat bermanfaat bagi dunia pertanian kita. Makanya, saya secara konsisten sejak awal tahun 90-an terus-menerus melatih petani di seluruh pelosok desa untuk memanfaatkan EM. Mungkin karena banyak punya massa petani, tahun 1998 saya dipinang partai. Lalu, saya menjadi anggota DPRD Bali…. (Berhenti sembari merenung sebentar) Lalu saya berhenti karena pandangan demokrasi saya dianggap melawan partai.

(Dalam pemilihan gubernur Bali beberapa waktu lalu Wididana ngotot mencalonkan diri. Padahal, partainya telah memiliki calon lain. Banyak yang menduga itu hanya trik politiknya, di mana pada saat-saat akhir ia pasti mengundurkan diri. Namun, ia tidak melakukan itu. Setelah benar-benar kalah dalam pemilihan, ia kemudian keluar dari partainya).

Demokrasi dalam pandangan saya ditentukan oleh rakyat. Kalau segala sesuatu masih mengikuti partai di pusat, siap-siap saja akan ada money politics. Saya dicalonkan dari bawah, saya harus ikuti itu. Apa pun risikonya. Saya berani karena saya memiliki apa yang saya sebut sebagai Semberani. Bagaimana kita harus berani memutuskan dan melakukan sesuatu dengan kerja keras, ditambah dengan keseimbangan pikiran dan hati nurani. Saya belajar pernapasan sejak tahun 1980. Semberani adalah gabungan antara spiritual dan materialisme. Pikiran yang terkendali dan fokus itulah sebenarnya alat untuk mencapai material.

Oleh karena ini juga, di saat semua kawan-kawan wakil rakyat seperti tak punya nyali, saya tetap hadir dengan keyakinan tadi. Bahwa demokrasi tidak bisa diciptakan dengan garis-garis partai. Saya maju terus dan menerima segala risiko untuk memberi pendidikan kepada mereka.

Apa mungkin menerapkan spiritualisme dalam pola-pola manajemen?

Visi saya adalah mengembangkan teknologi, mendapatkan keuntungan dari teknologi, menciptakan lapangan kerja, serta mewujudkan kesejahteraan karyawan dan masyarakat luas. Pikiran pemimpin yang seimbang akan menciptakan keseimbangan di dalam perusahaan, dan yang terpenting adalah konsisten dan ikhlas. Perusahaan-perusahaan yang saya dirikan jatuh-bangun, banyak ditipu. Apa yang saya bawa kemari banyak dicibir, bahkan dituduh racun, tetapi saya bergerak terus dengan dana-dana yang saya cari sendiri. Semua saya kerjakan dengan ikhlas. Syukurlah sekarang teknologi EM ini sudah banyak diterapkan di negeri ini.

Untuk mencapai keseimbangan pikiran yang fokus tadi, kita harus melatih diri dengan apa yang disebut meditasi. Pernapasan perut untuk melatih kesabaran, sedangkan pernapasan total untuk meningkatkan daya tahan tubuh, membakar racun, serta mendorong keberanian.

Bagaimana mentransformasi keseimbangan diri ke dalam perusahaan?

Kalau sudah seimbang, energi alam masuk ke dalam tubuh kita. Saya sampai seperti sekarang ini karena proses perbaikan terus-menerus, manajemen harus terus di-up-grade. Kalau kita seimbang, kita waspada, sabar, dan toleran. Misalnya rugi, memang dalam hukum dagang kan untung-rugi. Pada waktu untung jangan terlalu bergembira, rugi jangan terlalu bersedih.

Keseimbangan suatu perusahaan ditentukan oleh keseimbangan pemimpinnya. Dia memenangkan informasi, ide, secara benar. Ini yang kemudian saya sebut sebagai kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini harus seimbang dan harus berani. Berani memperjuangkan hak orang lain dan diri sendiri serta ikhlas.

WIDIDANA setelah lulus dari Universitas Udayana, bersama istrinya Komang Dyah Setuti (37), tahun 1985 memilih hidup sebagai petani di Desa Songan, Kintamani, Bangli, sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Agung. Ia mengontrak tanah seluas dua hektar untuk ditanami sayur-mayur.

Setiap malam tiba ia menyempatkan diri berdiskusi dengan almarhum Sutan Takdir Alisjahbana yang tinggal tak jauh dari situ. Perkenalan itu kemudian membawanya menjadi kepala laboratorium lapangan seluas 17 hektar milik Fakultas Pertanian Universitas Nasional (Unas) Jakarta.

Tahun 1987 ia memperoleh bea siswa belajar sastra Jepang di Okinawa. Namun, kesempatan itu ia gunakan untuk berkenalan dengan Prof Teruo Higa, yang kemudian menjadi guru panutannya. Pak Oles kemudian menyelesaikan studi S2 di Jepang dengan meraih master of agriculture. Kemudian ia juga menyelesaikan S3 manajemen di Hawaii.

Ia sempat menjadi dosen di Unas Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan kembali ke Bali dengan membangun pusat penelitian dan pelatihan serta pabrik obat di desa kelahirannya, Desa Bengkel, Buleleng.

Pria yang dilahirkan pada 9 Agustus 1961 ini dikaruniai putra-putri, Luh Putri Dewi Okinawa (18), Kadek Brahmashiro Wididana (16), Komang Wibhuti Emriko (9), dan Ketut Pandu Kumara (1).

Kehadiran Pak Oles sebagai produsen dan pengelola obat-obatan alternatif (di luar obat-obatan kimia) memang penuh dengan kejutan. Ia misalnya tidak saja menempuh cara-cara pemasaran dari pintu ke pintu, berbagai pusat penjualannya juga melayani pesan antar. Perusahaannya melakukan intervensi ke daerah- daerah yang ia kategorikan potensial bagi pengembangan teknologi EM, seperti Magelang (pertanian) atau Gresik (pertambakan).

“Semua adalah cara saya menghadirkan EM di mana-mana, termasuk membuka panti pijat itu,” katanya.

Pewawancara: Putu Fajar Arcana

Sumber : kompas.com

Categories: pijat story (cerita) | 1 Comment

Post navigation

One thought on “Gede Ngurah “Pak Oles” Wididana

  1. Adrie

    Minyak Oles sudah menjadi bagian dari kebutuhan rumah tangga saya sejak pertama minyak oles masuk kota Surabaya. Semoga Tuhan membimbing Pak Oles agar minyak oles bisa lestari sepanjang masa seperti butir-butir beras.

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.